Ketua Umum PBNU yg baru, pada setiap pidato dihadapan warga NU, selalu mengingatkan kpd mereka agar jangan sekali-kali pengurus NU melakukan kegiatan politik praktis. Krn NU sudah lama telah kembali ke Khithah 1926 seperti dulu ketika didirikan, sehingga kegiatan NU kini fokus ke bidang-bidang keagamaan, pendidikan dan kamasyarakatandan tidak lagi berkecimpung dm persoalan politik.
Sejak dinyatakan kembali ke khithah 26, para pengurus NU, memang tdk dilarang secara total melakukan kegiatan politik praktis. Mereka masih boleh melakukan kegiatan politik, selama kegiatan politik yg dilakukannya itu tdk mengatasnamakan organisasi NU. Hanya saja, kegiatan politik yg dilakukan seorang pengurus organisasi, antara atas nama pribadi dgn dia sbg pengurus organisasi, perbedaannya sungguh teramat tipis.
Dlm sejarahnya,
organisasi Islam yg dirikan hampir satu abad guna mengurusi bidang-bidang sosial, keagamaan dan pendidikan ini, tak lama sesudah dilahirkan, kemudian masuk ke dunia politik sampai selama hampir 4 dasawarsa. Namun setelah itu, NU kembali lagi ke Khithahnya.
Awal mula NU terjun kedunia politik, ialah ketika ormas Islam bentukan para kiyai ini ikut bergabung dlm "Masyumi", yaitu wadah organisasi yg didirikan secara perorangan pada 1943 atas prakarsa pimpinan NU,
dgn KH Hasyim Asy'ari sbg pemimpinnya.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, pada 1945,
Masyumi dijelmakan menjadi Partai Politik Islam yg ketika merupakan satu-satunya Partai Islam di Indonesia dgn Ketuanya tetap KH Hasyim Asy'ari. Kemudian pada awal 1946, NU secara organisatoris memutuskan masuk menjadi anggota Mayumi, yg didalamnya ialah Muhammadiyah, PSII, PUI dll.
Selama terjun ke kancah politik di Masyumi, didalam Kabinet pemerintahan Presiden pertama, Sukarno, para tukoh NU juga ormas Islam lainnya yg tergabung dlm Masyumi, berkali-kali diikutkan menduduki kursi Kabinet di pemerintahan.
Namun tak lama sesudah Masyumi menjelma menjadi partai politik, kericuhan mulai terjadi antar organisasi-organisasi yg tergabung didalammya, termasuk pula dgn NU.
Adapun timbulnya perselisihan antara NU dgn sekelompok ormas lain yg ada didalamnya,
diantaranya ialah ttg
strategi politik pada awal awal kemerdekaan. Pada intinya, dlm berpolitik, NU tdk menyukai watak oposisi dgn pemerintah, ekstrim, memboikot dan sebagainya kecuali jika sistem nilai yg berlaku
dilingkungan NU telah mengizinkan.
Dari sinilah satu kelompok di Masyumi kemudian terlihat ingin mendesak minggir kelompok NU dari percaturan politik.
Ketika pertikaian antar kedua kelompok itu memuncak pada awal April 1952, maka pada Muktamarnya yg ke 19 akhir April 1952 di Palembang, NU menyatakan diri keluar dari Masyumi dan memproklamirkan diri menjadi partai politik sendiri dgn nama "Partai NU".
Pada waktu pertama kali menjadi Partai politik hanya memiliki 8 kursi dari 237 kursi didlm Parlemen, maka pada Pemilu pertama 29 September 1955 yg diikuti 28 Parpol dan Ormas, NU mendapatkan 45 kursi dari 257 kursi yg diperebutkan dan menduduki urutan nomer tiga setelah PNI dan Masyumi yg masing-masing memperoleh 57 kursi.
Kemudian setelah peristiwa G 30 September, dimasa awal-awal pemerintahan Presiden RI kedua, Suharto, NU juga tetap diikutkan duduk didalam Kabinet.
Pada Pemilu 1971 yg diikuti oleh 9 Parpol dan Golkar sbg pendatang baru, dgn pemilih lebih dari 58 jt. jiwa, NU menduduki urutan no. 2 setelah Golkar dgn memperoleh 58 kursi di DPR dari jumlah 460 kursi yg diantaranya 360 dipilih melalui Pemilu itu, dan 100 diangkat. Namun pada akhir Maret 1973, setelah Suharto terpilih kembali menjadi Presiden RI,
NU sudah tdk lagi diikutkan duduk didalam kursi kementerian.
Sejak awal 1970 Presiden Suharto memberi anjuran agar jumlah Partai di tanah air diperkecil hanya menjadi tiga golongan, maka kemudian
terbentuklah Partai Nasionalis "PDI" yg merupakan gabungan dari Partai-partai PNI, IPKI, MURBA, Parkindo dan Partai Katolik. Sedangkan Partai NU harus bergabung dgn tiga Partai Islam lainnya yakni Parmusi, PSII dan Perti dan pada 5 Januari 1973 menjadi Partai Islam, "PPP", sehingga ketika itu hanya ada tiga kontestan: Golkar, PPP dan PDI.
Pada awal mula berdirinya, dlm tubuh PPP nampak tenang- tenang. Namun setelah berjalan beberapa waktu, maka masing-masing unsur didalamnya mulai menampilkan sikap ketidak kompakan antar unsur yg ada didalamnya terutama dlm menghadapi berbagai persoalan prinsip.
Goncangan sangat serius terjadi menjelang Pemilu 1982 antara satu kelompok di Partai ini dgn NU yg berakibat fatal dlm sejarah NU selama hampir satu abad usianya.
Kejadiannya bermula dari tindakan Ketua Umum PPP yg berasal dari salah satu unsur di Partai ini. Pada intinya, dgn berbagai cara dan tanpa bermusyawarah, Ketum Partai ini berusaha memperbanyak jumlah kursi Paelemen yg dimiliki unsur organisasinya, dgn cara mengurangi jumlah kursi
milik unsur NU yg diperolehnya dari Pemilu 1977 sebelum nergabung dlm Partai ini.
Sudah barang tentu, dgn keras NU menentangnya.
Selain itu, dlm Daftar calon yg disusun Ketum Partai ini, walau banyak juga nomor-nomor yg berasal dari unsur NU, namun beberapa nama tokoh NU yg representatif justru digusur dan diganti nomor-nomor calon anggota dari NU yg bukan prioritas. Bagi tokoh-tokoh NU yg semula hanya sbg calon pelengkap dan tiba-tiba melonjak menjadi calon prioritas dlm daftar calon yg ada ditangan Ketua Umum Partai ini, tentu mendukung policy Ketua umum Partai tsb
Krn dlm persoalan ini tdk didapatkan titik temu, dan bahkan saling mengecam, maka PB Syuriyah NU segera memutuskan utk mengadakan rapat Pleno utk membicarakan kemelut NU, terutama membahas isu niat keluarnya NU dari PPP. Bagi NU, yg di persoalkan dlm permasalahan tsb. bukanlah masalah pencalonan anggota DPR itu saja, tetapi yg lebih penting
ialah krn tdk dipeliharanya asas musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip lainnya yg erat hubungannya dgn perjuangan umat Islam.
Oleh sebab itulah beberapa tokoh NU kemudian menilai bhw Ketua Umum PBNU yg ketika itu di PPP menjabat sbg Presiden Partai, dinilai kurang perhatiannya dlm mengemban amanat Muktamar, sehingga NU menjadi tdk mampu berbuat banyak dlm menghadapi kasus di PPP menjelang Pemilu 1982 tsb. Krn itulah, Ketum PBNU hendak diminta dgn hormat oleh sebagian para pengrus NU sendiri utk mundur dan menyerahkan jabatan "Ketua umun" PBNU kpd Rais Aam. Ketum PBNU pun menerima dgn legowo permintaan tsbnutk kemudian dan ia pun memberi pernyataan mundur dari jabatan ketua umum PBNU.
Akan tetapi ternyata persoalan tdk hanya sampai disitu. Beberapa pengurus NU lainnya, terutama dari para politisi yg berada di pihak Ketua Umum PPP, memprotes pengunduran diri Ketum PBNU tsb. Bahkan menganggap pengunduran dirinya itu tdk sah. Maka atas permintaan para pendukungnya itu, Ketum PBNU mencabut kembali ikrar pengunduran dirinya sbg Keum PBNU.
Dari sinilah maka perselisihan intern ditubuh NU akhirnya timbul kepermukaan. Dan sejak itu, muncullah dua kelompok dlm tubuh NU yaitu kelompok Cipete Jakarta dgn Ketum PBNU sbg tokohnya dan kubu Situbondo yg dipimpin oleh Rois Aam Syiriyah.
Dlm suatu rapat Panitiya Munas pertengahan Nopember 1983, yg diadakan oleh kelompok Situbondo di kantor PBNU, mereka membicarakan Munas NU yg akan diselenggarakan pada pertengahan Desember 1983. Sementara itu, kubu Cipete juga mengadakan rapat dirumah salah seorang pengurus PBNU di Jakarta yg membicarakan penyelenggaraan Konbes NU, guna membicarakan berbagai masalah termasuk Asas tunggal Pancasila.
Munas Alim ulama di selenggarakan oleh kelompok Sitibondo pun diselenggarakan pada akhir 1983 sesuai yg direncanakan
dgn mengambil tempat di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sitibondo. Diantara masalah penting yg ditegaskan ialah kembalinya NU ke Khithah 1926 dan sikap NU terhadap Pancasila.
NU kembali ke khithah 1926 dlm arti keluar dari Partai Politik dan kembali ke garis perjuangan sewaktu organisasi ini didirikan pada 1926 dulu dan dlm urusan politik, memberi kebebasan kpd warga NU guna menentukan pilihan politiknya serta merekomendasikan kpd Rois Aam utk mengeluarkan larangan bagi pengurus NU merangkap jabatan dikepengurusan Partai Politik, baik bagi para pengurus Tanfidziyah maupun Syuriyah.
Pada akhir Pebruari, kelompok NU Situbindo merencanakan penyelenggaraan Muktamar pada sekitar Oktober 1984. Sebelum itu, kelompok Cipete ternyata juga sudah mencanangkan akan menyelenggarakan Muktamar pada April 1984. Namun Pemerintah nampaknya tdk akan memberi izin Muktamar pada salah satu kelompok itu. Pihak Pemerintah menyatakan bhw Muktamar NU baru bisa dilaksanakan kalau kedua pihak rujuk dulu.
Tentang kemungkinan bersatunya kembali kedua kelompok itu, sebelumnya kelompok Cipete mengajukan beberapa syarat diantaranya,
Ketua Umum PBNU hasil Muktamar 1977 yg telah pernah diminta mundur oleh kelompok Situbondo itu,
harus tetap diakui sbg Ketum oleh pihak kelompok Situbondo
Selanjutnya pada awal September 1984, dirumah Ketua PWNU Jawa Timur, di Surabaya beberapa tokoh utama kedua kelompok Cipete dan Situbondo menandatangani maklumat keakraban yg intinya, tekad para sesepuh NU rujuk bersatu kembali sebelum Muktamar ke 27 yg hendak diselenggarakan pada Desember 1984. Mereka dgn keikhlasan saling berpelukan sebagaimana kepribadian dan sifat khas ulama yg sesungguhnya, dan disitulah kedua belah pihak bersatu kembali.
Ulama sbg pewaris Nabi, memang pengemban misi utk menciptakan perdamaian dikalangan umat manusia. Maka jika tempo hari ditubuh NU yg merupakan organisasi para kiyai itu mengalami perselisihan sengit, itu akibat dari ulah politisi yg memperlakukan para ulama dgn perlakuan seperti terhadap para politisi lain pada umumnya, sehingga bisa berakibat pada terjadinya perselisihan sengit ditubuh organisasi para kiyai itu.
Setelah kedua kelompok berdamai, Mukramar NU ke 27 pun dilaksanakan pada 8 -12 Desember dgn mengambil tempat di Pesantren Syafiiyah Situbondo, tempat dimana disitu Munas Alim Ulama diselenggarakan Desember tahun sebelumnya. Dlm Muktamar inilah NU menyatakan diri keluar dari wadah Partai Politik dan kembali ke Khithah dimana ia dilahirkan pada 1926 dahulu dan tdk akan tampil lagi ke gelanggang politik.
Dgn demikian, NU kembali sbg ormas keagamaan, sedangkan keanggotaan di Parpol, bersifat perorangan. Dgn begitu, warga NU bebas menentukan partai pilihannya utk menyalurkan aspirasi politiknya. Pengurus harian NU, tdk boleh lagi merangkap jabatan sbg pengurus organisasi politik manapun disemua tingkatan.
Namun meskipun telah kembali menjadi organisasi kemasyarakatan yg melepaskan diri dari kegiatan politik, bukan betarti NU tdk ikut politik praktis, tetapi hanya organisasi ini menganut prinsip netralitas. Artinya, tdk terikat dgn salah satu kekuatan sosial politik yg ada dgn masih tetap menggunakan hak politiknya
dan tdk menjadi golput.
NU harus membina umatnya berpolitik sesuai dgn aspirasi masing-masing. Dan sejauh ini, bukan berarti NU akan netral. Sebab netral tidaklah aktif. Yg dikehendaki ialah NU tdk memihak salah satu Partai politik, tetapi tetap aktif menggunakan hak politiknya. Adapun Kontestan mana yg harus dipilih orang NU, tentu akan tergantung pada program Partai mana yg paling dekat dgn aspirasinya atau dipandang bermanfaat bagi dirinya, selagi tdk merugikan Islam dan perjuangan Islam.
Selanjutnya, sekitar 14 tahun kemudian, yakni pada 21 Mei 1998, Presiden Suharto yg pada waktu itu telah menjabat sbg Presiden selama 3 Dasawarsa, lengser dari jabatan Presiden akibat desakan reformasi yg kuat. Sehari setelah itu, PBNU mulai kebanjiran berbagai usulan dari warganya diseluruh pelosok, diantaranya ada yg mengusulkan agar PBNU membentuk Parpol dan ada yg mengusulkan nama-nama Parpol, maupun lambang Parpol. PBNU pun menanggapi secara hati-hati, krn telah adanya keputusan NU kembali ke Khithah 1926 pada 1984. Namun banyak pihak yg tdk sabar sehingga mereka ada yg langsung mendirikan Parpol utk mewadahi aspirasi mereka, seperti berdirinya "Partai Bintang sembilan" di Purwokerto dan "Partai Kebangkitan Umat" di Cirebon. Akhirnya, dari hasil rapat awal Juni 1998, PBNU membentuk tim 5 yg diberi tugas utk memenuhi aspirasi warga NU. Maka pada 23 Juli 1998 PBNU mendeklarasikan berdirinya Partai Politik yg diberi nama "Partai Kebangkitan Bangsa" (PKB) dgn Ketua Umum pertamanya, KH Abdurrahman Wahid.
Namun pada waktu itu tdk semua kiyai satu komitmen bhw Partai ini adalah partainya warga NU. Setidaknya ada polarisasi pendapat kiyai ttg hubungan NU dgn PKB.
KH Subadar Pasuruan misalnya menytakan bhw kelahiran Partai ini dibidani oleh lima kiyai atas instruksi PBNU NU, maka wajar jika warga NU secara emosional merasa ada ikatan batin dgn partai ini. Maka ia
berpendapat NU
tdk mengharuskan mendukung Partai ini, tetapi cukup menyerukan atau menghimbaunya. Sedangkan para kiyai lainnya
menyatakan bhw jika dihubungkan dgn Khithah NU, maka secara organisatoris, NU harus mengambil jarak yg sama diantara partai-partai yg ada, sebagaimana telah dijelaskan dlm Khitha NU 1926.
إرسال تعليق